Pola Bisnis UMKM
Ada yang bilang kalau bisnis itu punya dua pola. Pola pertama dianut oleh orang-orang yang menganggap bahwa hari ini bekerja, hari ini mendapatkan hasil, analoginya seperti seorang nelayan, yang berangkat ke laut hari ini dan kembali pulang ke daratan harus membawa ikan, pola kedua dianut oleh orang-orang yang menganggap bahwa hari ini bekerja, esok bekerja, dan terus bekerja beberapa bulan bahkan beberapa tahun lagi, baru bisa mendapatkan hasilnya, analoginya seperti petani yang menanam pohon, merawat dan memupuk hingga beberapa tahun baru bisa mengambil hasilnya.
Tidak dapat dipungkiri, kedua pola ini memiliki penganutnya masing-masing, pola nelayan seperti contohnya kebanyakan pedagang yang biasa berjualan di toko, mereka membeli barang ke supplier, menaruhnya di toko, menjualnya dan langsung mendapatkan keuntungan.
Sedangkan pola petani seperti bisnis property, mulai dari mencari lahan, membangun rumah, mengurus perijinan dan legailitas, sampai promosi dan terjual sekian puluh persen baru bisa dapat keuntungan, dan tentu saja waktu yang dibutuhkan tidak cukup 1 atau 2 bulan, bisa sampai bertahun-tahun baru dapat profit.
Dari segi permodalan pun punya perbedaan yang sangat mencolok, jika pola seperti pedagang tadi modalnya dimainkan dengan putaran cepat, artinya modal Rp1 juta, beli barang, terjual RP1,2 juta, potong operasional, potong buat keperluan pribadi, besoknya beli lagi dengan uang Rp1 juta, begitu seterusnya.
Sedangkan pola pebisnis seperti contoh property tadi modalnya dimainkan dengan putaran lambat, artinya modal terus menerus dikeluarkan, untuk beli lahan, biaya perijinan, biaya pembangunan, biaya promosi, sampai akhir proyek yang jangka waktunya lama, baru bisa mengambil hasilnya.
Pola Bisnis Startup
Jika pada pola bisnis konvensional ada dua pola, membandingkan antara pedagang di toko dan pebisnis property, maka jika dibandingkan dengan bisnis startup, bisnis konvensional dianalogikan sebagai pola nelayan, artinya harus bisa secepatnya mendapatkan hasil walaupun itu dalam hitungan tahun, sedangkan startup dianalogikan sebagai pola petani, artinya perlu tambahan modal terus menerus, mencari pelanggan sebanyak-banyaknya, melebarkan ruang lingkup seluas-luasnya, dan mencari valuasi sebesar-sebesarnya, baru ketika sudah IPO atau di akuisi oleh perusahaan lain, saat itu baru menikmati hasilnya.
Adanya perbedaan pola bisnis ini lah yang terkadang menjadi perdebatan antara sesama founder atau antara founder dan investor yang memiliki pandangan dan pemahaman berbeda tentang bisnis startup, ada beberapa orang yang pernah saya temui dan berdiskusi tentang bisnis startup, ternyata ada yang memang mengerti seperti apa pola dan cara kerjanya dan ada pula yang menyamakannya dengan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).
Maka penting bagi saya untuk menulis topik ini untuk sedikit berbagi tentang pola bisnis konvensional dan bisnis startup, agar para founder atau investor yang ingin mulai terjun ke startup bisa memahami pola bisnisnya dan tidak menyamakannya dengan pola bisnis konvensional dan UMKM, kenapa? Karena Startup dan UMKM itu memang berbeda, berikut perbedaan yang harus kita fahami:
1. Inovasi
Tentang inovasi, seperti apa inovasi yang akan kita buat?
Jika bisnis UMKM adalah menjalankan bisnis yang sudah ada sebelumnya, kalaupun membuat sebuah inovasi, mungkin hanya sedikit perubahan kecil saja, contohnya sangat banyak, seperti membuka restoran dengan konsep baru, salon dengan tema baru, atau membuat sebuah website/blog dengan konten-konten yang tidak biasanya.
Sedangkan startup, yang namanya inovasi itu adalah sebuah keharusan, benar-benar menciptakan sesuatu yang baru atau membuat sesuatu yang lebih baik dari yang ada saat ini, seperti menciptakan sebuah model bisnis baru seperti AirBnB dan Uber yang sangat berbeda dari model bisnis perusahaan akomodasi dan trasportasi, atau membuat sebuah teknologi baru seperti printer 3D yang memang jauh berbeda dari printer lainnya.
Kalau masih berfikiran bahwa bisnis harus meniru apa yang sudah ada dan tidak mau mengambil risiko untuk membuat sesuatu yang baru, maka pola fikir masih berat ke aliran bisnis UMKM, bukan startup.
2. Skala
Tentang skala, seluas apa ruang lingkup atau cakupan wilayah bisnis ini akan kita kembangkan?
Jika bisnis UMKM beroperasi dalam sebuah batasan kerja atau wilayah tertentu agar bisa melakukan kontrol untuk setiap operasionalnya dan dengan sengaja membatasi pertumbuhan bisnisnya agar bisa fokus untuk melayani konsumen, contohnya seperti rumah makan yang tidak mau buka cabang untuk mempertahankan jumlah pelanggan dan cita rasa kualitas masakannya.
Tapi bisnis startup tidak dirancang untuk membatasi pertumbuhan, malahan dibuat sedemikian rupa agar bisa berkembang sebesar mungkin dan mendapatkan pengaruh di masyarakat serta “menghancur” pasar yang sudah ada.
Kita ambil contoh seperti perusahaan taksi konvensional yang hanya bisa mengambil market share untuk wilayah JABODETABEK saja, untuk ekspansi ke wilayah lain mereka akan fikir panjang karena harus melakukan banyak hal membuka cabang baru, seperti membuka kantor cabang, menambah karyawan dan membeli armada, sedangkan Startup taksi online, mereka bisa dengan bebas beroperasi diwilayah mana saja, dan tentu saja kehadiran taksi online “menghancurkan” pasar taksi-taksi konvesional.
Kalau teman atau calon investor masih berfikiran bahwa bisnis harus terfokus untuk satu wilayah saja dan takut untuk memberikan pengaruh dan menghancurkan bisnis yang sudah ada, maka sekali lagi pola fikir seperti itu masih beraliran bisnis konvensional, bukan startup.
3. Pertumbuhan
Tentang seberapa cepat bisnis akan tumbuh?
Jika pada point kedua, tentang ruang lingkup wilayahnya, point ketiga tentang bisnisnya, bisnis UMKM juga sangat mementingkan pertumbuhan bisnis, mereka juga ingin bisnisnya bisa cepat menjadi besar, namun fokus bisnis UMKM lebih kepada mencari profit dan mempertimbangkan pertumbuhan bisnis dengan sangat hati-hati.
Lain hal nya dengan bisnis startup yang memang tujuannya untuk tumbuh berkembang dengan sangat cepat, startup mencari model bisnis yang bisa diterapkan, bisa diduplikasi di berbagai kota atau bahkan di berbagai negara sekaligus.
Seperti contohnya bisnis perhotelan, untuk menambah hotel baru di berbagai kota di Indonesia rasanya memerlukan modal yang cukup banyak, apalagi harus membuka cabang hotel diluar negri, tapi apa yang dilakukan AiryRooms ? Mereka bisa membuat sebuah model bisnis dan bekerjasama dengan hotel di seluruh Indonesia, sekarang mereka bisa menyewakan kamar hotel diseluruh Indonesia tanpa harus membangun hotelnya.
Kalau masih terlalu takut jika bisnis tumbuh dengan cepat, mungkin pola fikir kita masih terpaku kepada bisnis konvensional, jika ingin bisnis di startup, segera hilangkan fikiran seperti itu.
4. Profit
Tentang profit, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan profit dan berapa banyakkah yang bisa anda dapatkan?
Seperti yang sudah saya singgung diawal tulisan ini, kalau bisnis UMKM dirancang untuk sebisa mungkin mendapatkan profit pada hari pertama dan nilai profit juga sudah anda perhitungkan jumlahnya, berbeda dengan bisnis startup yang bisa memakan waktu beberapa tahun untuk mendapatkan profit, dan selama proses itu yang ada malah uang terus dikeluarkan, apalagi jika startup tersebut fokus untuk mengakuisisi user sebanyak-banyaknya dan membuat konsumen merasa senang.
Contohnya saja seperti salah satu startup yang paling populer di Indonesia, yaitu Go-jek, sampai sekarang mereka belum bisa mendapatkan uang yang bisa menutupi beban operasionalnya, namun valuasi perusahaan mereka saat ini di angka Rp17 triliyun, artinya profit yang mereka dapatkan dari nilai tersebut sudah beberapa kali lipat.
Walaupun masih dalam perdebatan di kalangan pelaku bisnis startup sendiri tentang profit dan valuasi ini, namun kesamaannya adalah jangka waktu yang panjang dan keuntungan yang luar biasa, baik dari bisnisnya atau kepemilikan sahamnya, jadi masih jauh berbeda dengan bisnis UMKM, itu yang harus diperhatikan kalau mau memilih bisnis startup.
5. Permodalan
Tentang modal yang kita perlukan untuk menjalankan bisnis?
Ketika memulai bisnis UMKM, sumber permodalan yang digunakan biasanya dari uang pribadi, pinjaman dari teman, keluarga, bank atau investor, namun tujuan utamanya untuk bisa bergerak secara mandiri dikemudian hari, sehingga pebisnis harus sangat berhati-hati dalam menentukan jumlah pinjaman, pengelolaan, pembayaran dan menghitung nilai bagi hasil atau bunga.
Pada tahap ini memang tidak berbeda jauh dari bisnis startup, namun startup memiliki tahapan pendanaannya tersendiri, pada tahap awal, sama seperti bisnis pada umumnya permodalan bisa didapat dari uang pribadi, pinjaman dari teman, keluarga, bank, namun tidak jarang startup harus melibatkan Angel Investor pada tahap ini, pada tahap berikutnya Round A, Round B, Round C, sampai IPO, startup tidak bisa lepas dari permodalan angel investor atau Venture Capital, dikarenakan jumlah uang untuk keperluan operasionalnya juga sangat besar akibat pertumbuhan yang diharuskan cepat dan memperluas luang lingkup wilayah kerja tadi.
Meski tidak sedikit juga bisnis startup yang memilih pola permodalaan Bootstrapping, pola Bootstrapping sama dengan pola permodalan yang digunakan oleh bisnis UMKM, sumber permodalan menggunakan uang pribadi, pinjaman dari teman, keluarga, bank atau investor, banyak startup yang bisa survive dan sukses menggunakan pola ini.
6. Teknologi
Seberapa besar peranan dan kebutuhan teknologi dalam menjalankan bisnis?
Bisnis UMKM sekarang mengadopsi berbagai macam teknologi untuk kebutuhan keuangan dan pemasaran, mungkin itu belum bisa disebut sebagai sebuah startup, peranan teknologi hanya sebuah penunjang operasional saja, apalagi sekarang ada program dari pemerintah UMKM Go Digital? Apakah mereka bisa disebut Startup? Atau ada yang bilang “di Indonesia, apapun jika ditambah dengan teknologi, itu adalah startup” silakan temukan perbedaanya pada beberapa point di atas tadi.
Berbeda dengan bisnis startup, kebutuhan teknologi untuk operasional sangat fatal, tanpa teknologi bisnis startup tidak akan jalan, bahkan startup bisa dikatakan adalah teknologi itu sendiri.
Contohnya seperti beberapa perusahaan startup yang memiliki banyak ahli IT di dalamnya, mereka bekerja untuk mengembangkan aplikasi dan program agar lebih nyaman, mudah dan aman digunakan oleh user, jadi sangat wajar jika anggaran yang disediakan untuk bagian ini sangat besar, belum lagi riset dan pengembangan produk, bisa menghabiskan anggaran ratusan sampai milyaran rupiah.
Jadi, jika belum siap untuk menanam lebih banyak uang untuk urusan teknologi yang katanya tidak ada bentuk fisiknya, maka fikirkan kembali, apakah harus menjalankan bisnis konvensional saja.
7. Risiko
Tentang seberapa besar apa risiko yang akan diterima?
Ketika berbicara tentang risiko, bagi kebanyakan orang risiko terbesar itu adalah kegagalan, dan faktanya bisnis konvensional dan UMKM punya persentase kegagalan sekitar 32% pada 3 tahun pertama, dan kabar buruknya, startup punya persentase kegagalan 3 kali lipat dari bisnis konvensional dan UMKM, yaitu sebesar 92% pada 3 tahun pertama.
Apa yang menjadikan perbedaan tersebut sangat signifikan? Tentu saja model bisnis, market dan segment. Bisnis konvensional seperti yang telah dijelaskan poin pertama pada tulisan diatas hanya melanjutkan atau meniru model bisnis yang sudah terbukti sukses, menjual produk yang sudah jelas laku, ada pembelinya, dan masyarakat sudah terbiasa menggunakannya, sedangkan startup mencoba untuk membuat sebuah model bisnis yang baru, mencari pasar yang baru dan masih mencari-cari segment yang tepat, jika produknya tidak bisa diterima masyarakat karena orang tidak bisa dan tidak terbiasa menggunakannya.
Walau semua orang tidak suka dan tidak ingin gagal, tapi kegagalan harus siap diterima, namun jika tidak siap untuk persentase kegagalan yang lebih besar, sebaiknya pertimbangkan kembali untuk memilih bisnis startup atau bisnis konvensional saja.
Itulah perbedaan antara pola bisnis startup dan bisnis konvensional dan UMKM, mengenali beberapa perbedaan tersebut membuat kita bisa membedakan bisnis ini masuk kategori apa, dan yang lebih penting lagi jika anda adalah seorang founder atau calon founder, seorang investor atau calon investor bisnis startup agar bisa bisa mempertimbangkan sisi positif dan sisi negatif kedua pola bisnis tersebut, dan jangan sampai terjadi salah persepsi antara founder dengan founder, atau founder dengan investor. (ifn)
0 Response to "7 Perbedaan Pola Bisnis Startup Dengan Bisnis UMKM"
Post a Comment